Fenomena #KaburAjaDulu
Fenomena #KaburAjaDulu

Fenomena #KaburAjaDulu: Antara Kritik Sosial terhadap Pemerintah dan Keinginan untuk Hijrah Digital

Posted on

Pendahuluan: #KaburAjaDulu, Sekadar Tagar atau Suara Generasi yang Terpinggirkan?

Fenomena taggar #KaburAjaDulu bukan sekadar tren di media sosial—ini adalah simbol ketidakpuasan yang dalam terhadap pemerintah dan kondisi sosial-ekonomi Indonesia. Muncul pertama kali sebagai reaksi spontan terhadap realita hidup yang semakin sulit, tagar ini berubah menjadi gerakan simbolik yang mencerminkan keinginan kuat masyarakat, khususnya generasi muda, untuk “melarikan diri” dari sistem yang mereka anggap tidak berpihak pada masa depan mereka.

Di balik tagar viral ini, terdapat jeritan sunyi para lulusan sarjana yang menganggur, pekerja kreatif yang merasa tidak dihargai di tanah sendiri, hingga anak-anak muda yang kehilangan kepercayaan pada arah kebijakan negara. Maka tak heran, hashtag ini menjadi manifesto digital dari keinginan untuk hijrah digital, atau bahkan fisik, ke tempat yang dirasa lebih menjanjikan.


Latar Belakang: Realitas yang Mendorong “Kabur”

1. Krisis Kepercayaan terhadap Pemerintah

Seiring waktu, kepercayaan terhadap kebijakan pemerintah mulai terkikis. Kritik terhadap pengelolaan ekonomi, lapangan kerja, biaya pendidikan, hingga minimnya ruang bagi kebebasan berekspresi telah menjadi narasi utama di berbagai platform digital. Di sinilah taggar #KaburAjaDulu mendapat daya tarik masif sebagai bentuk satire dan ekspresi protes yang halus namun dalam.

2. Beban Hidup Ekonomi dan Sosial

Harga kebutuhan pokok yang terus naik, biaya pendidikan yang melambung, dan sulitnya mendapatkan pekerjaan layak—semua itu menjadi bahan bakar yang menyulut semangat kabur. Banyak anak muda merasa bahwa mereka “bekerja untuk bertahan hidup” bukan untuk mengejar mimpi. Di tengah tekanan tersebut, hashtag ini menjadi bentuk pelarian, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara psikis dan emosional.

3. Ketimpangan Digital dan Infrastruktur

Ironisnya, di era digitalisasi yang terus didorong pemerintah, masih banyak wilayah di Indonesia yang belum menikmati akses internet yang layak. Ini menciptakan ketimpangan baru: generasi muda di kota besar memiliki akses terhadap peluang global, sementara yang di daerah tertinggal hanya bisa melihat dari jauh.

Baca Juga


Reaksi Pemerintah: Defensif atau Kurang Empati?

Beberapa pejabat publik menganggap bahwa tagar #KaburAjaDulu adalah bentuk ketidaknasionalisan. Ada pula yang mengatakan bahwa mereka yang ingin meninggalkan Indonesia tidak cinta tanah air. Pendekatan yang seperti ini justru menyulut kemarahan publik.

Salah satu contoh nyata adalah ketika pernyataan seorang menteri yang menyinggung bahwa orang yang mencari kerja di luar negeri “tidak bangga menjadi bangsa Indonesia.” Reaksi netizen pun keras: “Kami bukan tidak bangga, kami hanya tidak diberi ruang untuk berkembang.”

Alih-alih menyalahkan generasi muda, seharusnya pemerintah mendengarkan, mengevaluasi, dan membuka forum dialog yang sehat. Kritik sosial terhadap pemerintah tidak harus dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai alarm peringatan bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki.


Dampak Sosial dan Ekonomi dari Fenomena #KaburAjaDulu

1. Brain Drain Indonesia: Kehilangan Talenta Berkualitas

Fenomena ini berkontribusi terhadap brain drain, di mana talenta-talenta terbaik Indonesia memilih untuk bekerja atau tinggal di luar negeri. Hal ini sangat merugikan dalam jangka panjang, karena negara kehilangan sumber daya manusia unggul yang seharusnya bisa menjadi motor penggerak kemajuan nasional.

Statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sejak 2020, jumlah WNI yang menetap di luar negeri untuk alasan pekerjaan meningkat lebih dari 30%. Banyak dari mereka adalah lulusan perguruan tinggi terbaik yang tidak melihat masa depan di Indonesia.

2. Migrasi Digital: Membangun Karier dari Luar Sistem

Dengan berkembangnya teknologi digital, banyak profesional muda mulai berkarier sebagai pekerja remote (digital nomad) yang tidak terikat lokasi geografis. Mereka bekerja untuk perusahaan luar negeri, mendapat gaji dalam dolar, dan bahkan memutuskan tinggal di negara yang lebih mendukung gaya hidup digital mereka.

Ini adalah bentuk hijrah digital—bukan hanya karena ingin bekerja di tempat baru, tetapi karena ingin keluar dari sistem yang dianggap stagnan. Fenomena ini juga mempertegas bahwa generasi muda bukan pemalas, mereka hanya butuh ekosistem yang mendukung produktivitas dan inovasi.

3. Disonansi Sosial: Generasi Terbelah

Di satu sisi ada generasi yang memilih untuk tetap bertahan dan melawan dari dalam. Di sisi lain, ada yang memilih kabur dan membangun hidup baru. Keduanya memiliki argumen yang valid, namun situasi ini menimbulkan semacam gap ideologis yang makin melebar.


Hijrah Digital: Solusi atau Pelarian Sementara?

1. Mengubah Pola Pikir

Hijrah digital bukan sekadar pelarian, tapi strategi bertahan hidup dan berkembang. Banyak anak muda yang merasa lebih dihargai secara finansial dan profesional ketika bekerja secara global. Mereka bisa menghindari tekanan sosial yang berlebihan, birokrasi yang rumit, dan kultur kerja yang tidak sehat.

2. Manfaat Hijrah Digital

  • Pendapatan lebih tinggi (dibayar dengan kurs USD/EUR)
  • Fleksibilitas waktu dan lokasi
  • Keseimbangan kerja-hidup yang lebih baik
  • Peluang global yang lebih luas

3. Tantangan dan Risiko

Namun, hijrah digital juga tidak lepas dari tantangan: keterbatasan visa, isolasi sosial, dan kebutuhan adaptasi budaya. Oleh karena itu, keputusan untuk “kabur” harus dipikirkan matang, bukan hanya ikut-ikutan tren.


Perlukah Negara Takut terhadap #KaburAjaDulu?

Jawabannya: tidak, jika pemerintah memilih mendengarkan. Ketakutan terbesar bukan pada mereka yang kabur, tetapi pada mereka yang diam dan kehilangan harapan. Justru ini adalah momentum bagi negara untuk merefleksikan sistem, menciptakan kebijakan yang lebih progresif, dan membangun lingkungan yang membuat warganya ingin tinggal dan berkontribusi.


Kesimpulan: Taggar #KaburAjaDulu adalah Cermin, Bukan Cacian

Fenomen ini harus dilihat sebagai kritik sosial terhadap pemerintah dan refleksi dari kondisi sosial-ekonomi yang kompleks. Ini bukan hanya tentang ingin meninggalkan Indonesia, tapi tentang ingin mendapatkan kesempatan yang lebih adil, pengakuan yang setara, dan kehidupan yang lebih manusiawi.

Jika negara ingin mempertahankan generasi mudanya, maka langkah awalnya adalah mendengarkan. Karena mereka yang memilih kabur, sejatinya telah lelah berteriak.

Sumber dan Referensi

  1. Kompas.com – “Kabur Aja Dulu dan Resistensi Pejabat atas Kritik” 👉 https://www.kompas.com/tren/read/2024/02/19/143540365/kabur-aja-dulu-dan-resistensi-pejabat-atas-kritik
  2. Liputan6.com – “Ungkapan Generasi Z yang Kecewa pada Pemerintah” 👉 https://www.liputan6.com/news/read/5524574/kaburajadulu-ungkapan-generasi-z-yang-kecewa-pada-pemerintah
  3. Detik.com – “Pakar: Itu Ekspresi, Jangan Dianggap Ancaman” 👉 https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7791491/pakar-tanggapi-kaburajadulu-ekspresi-anak-muda-pemerintah-tak-usah-sinis
  4. Republika.co.id – “Tren #KaburAjaDulu, Cermin Kegelisahan Kaum Muda” 👉 https://www.republika.co.id/berita/srw2pj349/tren-kaburajadulu-cermin-kegelisahan-kaum-muda
  5. Wikipedia Bahasa Indonesia – “Kabur-Aja-Dulu” 👉 https://id.wikipedia.org/wiki/KaburAjaDulu